Headlines News :
Selamat Datang Di Website Blog Sejarah Lamajang Tigang Juru.

Bung Tomo Award

Bung Tomo Award

MPPM Timur Lumjang

MPPM Timur Lumjang

Jejak Kelahiran Arya Wiraraja Sang Penyelamat Nusantara

Jejak Kelahiran Arya Wiraraja 

 

Tidak banyak literatur yang mengungkap tentang tokoh bernama kecil Banyak WIde ini. Namun dari penelusuran sumber-sumber sejarah yang utama seperti babad pararaton dan Kidung Harsawijaya, pernak pernik tersebut kitas susun kembali sehingga dapat disajikan lebih baik kepada para pembaca sejarah terutama orang Lumajang dan kawasan Tapl Kuda sebagai tempat tokoh ini berkuasa, meninggal, dan banyak mewariskan peniggalan baik yang wujud seperti bangunan maupun nonwujud yaitu kebudayaan, bahasa, dan kesenian.
Menurut Babad Pararaton Arya Wiraraja lahir sebagai putera seorang sesepuh desa Nangka yang disebutkan dalam bahasa Jawa Kuno disebutka sebagai berikut :
"Hana ta wongira, babatanganira buyuting Nangka, aran Banyak Wide, Sinungan pesenggahan Arya Wiraraja, arupa ten kandel denira, dinohken, kinon Adhipati ing Sungeneb, anger ing madura Wetan".
Artinya:
"Ada seorang hambanya, keturunan sesepuh Desa Nangka, bernama Banyak Wide, rupa rupanya tidak di percaya, dijauhkan, disuruh menjadi Adipati di Sumenep bertempat tinggal di Madura Timur".

Dari keterangan ini dapat diartikan bahwa Banyak Wide merupakan seorang putera dari sesepuh di Desa Nangka. Nah, tentang desa Nangka ini tidakdisebutkan dimana tepatnya namun dari beberapa Keterangan diatas dapat kita uraikan sedikit demi sedikit.

Tentang desa Nangka tersebut banayk daerah menafsirkan sebagai tempat kelahiran tokoh besar ini misalnya saja versi Sumenepmengatakan Arya Wiraraja dilahirkan di desa Karang Nangka Kecamatan Sumenep. Demikian juga versi Bali dimana Arya Wiraraja disebut sebagai kelahiran Besaki, Kecamatan Rendang Kabupaten Karang Asem. Namun secara  akademis kita bisa menafsirkan tempat kelahiran Arya Wiraraja sesuai dengan keterangan Pararaton.

Dari keterangan diatas disebutkan bahwa Arya Wiraraja itu pada tahun 1269 masehi ditugaskan jauh ke Madura Timur atau dalam bahasa Pararaton adalah "dinohken"  yang artinya dijauhkan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa Arya Wiraraja bukanlah orang Madura, Karena Jika ia orang Madura dalam Bahas Pararaton, bahasa yang dipakai kiranya bukan "dinohken" atau dijauhkan, tetapi malah dipulangkan atau di dekatkan. Tentang versi Bali kelemahannya tidak ada keterangan yang menyebutkan Arya Wiraraja pernah hidup di Pulau Dewata Sehingga hal ini kurang kuat sumbernya.

Nah, tentang kelahirannya yang diperkirakan di daerah jawa, khususnya Jawa Timur ini, yang paling kuat adalah Dusun Nangkaan, Desa Ranu Pakis, Kecamatan Klakah Kabupaten Lumajang. Hal ini sesuai toponimnya bahwa dusun Nangkaan itu seusai dengan nama desa nangka yang ada di Pararaton. Demikian juga di Wilayah Kecamatan Klakah juga merupakan penghasil buah nangka terbesar di Kabupaten Lumajang. Disamping itu wilayah sekitar dusun Nangkaan ini juga merupakan wilayah pemukiman kuno dengan bukti adanya peninggalan kuno di Situs Tegal Randu dimana situs ini diperkirakan adalah sebagai komplek pemukiman para brahmana.
Perlu diketahui bahwa Banyak Wide merupakan seorang keturunan brahmana yang dibuktikan dengan nama "Banyak" yang dalam filsafat Hindu dikatakan sebagai nama yang dikhususkan kepada kaum brahmana yang merupakan wahana bagi Dewi Saraswati yang juga memelihara binatang angsa. Nama Wide atau widya sendiri berasal dari kata "Widya" yang berarti ilmu pengetahuan.

sedangkan tahun kelahiran Arya Wiraraja disebutkan sebagai berikut:
"Sira Banyak Wide auwuh patangpuluh tiga duk pamalayu"
yang artinya:
"Ia Banyak Wide berumur 43 tahun pada peristiwa penyerangan Pamalayu"
Perlu kita ketahui bahwa peristiwa Pamalayu atau serangan tentara Tumapel/ Singosari dibawah pimpinan Kebo Anabrang ke melayu dilakukan pada tahun1275 masehi atas perintah Prabu Kartanegara. Peristiwa "PAMALAYU" ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan politik "Cakrawala Mandala" dimana kerajaan Tumapel ingin menguasai daerah-daerah seperti Jawa, Madura, dan Sumatera. Dari keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa Banyak Wide dilahirkan pada tahun 1232 masehi.
Dalam perjalanan karirnya Banyak Wide ini dikenal sebagai seorang cerdik dalam pengetahuan. Karir awalnya adalah sebagai "Babatangan" atau penasehat spiritual kenegaraan kerajaan Tumapel/Singosari pada umur 30 tahun. Pada umur 37 tahun Banyak Wide kemudian dipindahkan ke Madura sebagai adipati dan bergelar Arya Wiraraja yang artinya seorang ksatria dan pemimpin yang berabi.
Pada waktu  kerajaan Tumapel runtuh Arya Wiraraja memainkan peranan penting dalam pencaturan politik kerajaan Tumapel. Tokoh ini bergabung dengan kelompok dari Wangsa Rajasa yang dipimpin oleh tokoh Narasinghamurti kemudian dilanjutkan oleh putranya Dyah Lembu Tal dan kemudian raden Wijaya. Ketika Tumapel runtuh dan Prabua Kartanegara terbunuh, Arya Wiraraj diminta Bantuannya oleh Raden Wijaya sebagai pemimpin Wangsa Rajasa. Dengan segenap pikiran dan tenaga Arya Wiraraja menyediakan pasukan madura untuk membantu berdirinya kerajaan Majapahit
Ketika pasukan mongol Tar Tar dibawah pimpinan Ike Mese mendarat di pelabuhan Tuban, Arya Wiraraja menasehati Raden Wijaya untuk bergabung dengan pasukan besar tersebut danmenggempur kerajaan Daha pimpinan Prabu Jayakatwang yang merupakan pengganti Prabu Kartanegara. Dalam waktu singkat kerajaan Daha dapat ditakhlukan, namun pasukan mongol Tar Tar ini kemudian diperdaya oleh Arya Wiraraja dengan Puteri Cantik dan minuman keras. Diwaktu mereka tidak siap, pasukan madura dan laskar gabungan dari majapahit ini kemudian menyerang dari belakang pasukan terhebat dan penguasa dunia tersebut sehingga lari terbirit birit dan selamatlah nusantara dari penjajahan mongol Tar Tar yang sangat kejam.
Setelah kemenangan besar ini Arya Wiraraja dan Raden Wijaya kemudian bersepakat membagi 2 bekas kerajaan Tumapel dimana barat menjadi Majapahit sedangkan yang timur atau kawasan Tapal Kuda sekarang menjadi Lamajang Tigang Juru yang beribukota di kawasan biting sekarang. Beliau setelah menjadi Raja banyak yang mengatakan bergelar Menak Koncar dan kemudian meninggal di kawasan Karatonnya. 

Foto NYATA Kanjeng Ratu Pantai Selatan

Foto NYATA Kanjeng Ratu Pantai Selatan

Sumber : Juri Rakyat.com 
Mukin sebagian sobat pada Penasaran bukan seperti apa sih foto Kanjeng Ratu Pantai Selatan ? sebenarnya ini sebuah koleksi pribadi saya, karna ini adalah kenangan terahir dari teman saya sebelum teman saya hilang di telan ombak sewaktu memotret matahari yg mulai tenggelam, waktu liburan di parang kusumo pada th 2009 silam. tak usah panjang lebar saya menceritakan kenangan mistis itu, karna ada fenomena aneh saat saya memposting foto ini langsung saJa sobat Juri Rakyat inilah Foto Kanjeng Ratu Pantai Selatan (NYATA)

Ekspedisi Cincin Api: Gunung Meru, Pusat Semesta



Gunung Semeru, sejumlah perempuan melintasi jalan Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 16 Maret 2009. Meski status Gunung Semeru adalah Siaga, aktivitas warga di desa yang berjarak sekitar 8 kilometer dari puncak Semeru itu tetap berjalan normal.
KOMPAS, Sabtu, 21 Januari 2012 – Kisah Gunung Meru yang dikeramatkan menjadi asal berbagai praktik pemujaan gunung-gunung di Jawa dan Bali setelah kedatangan Hindu-Buddha. Semua gunung di Jawa dianggap suci karena merupakan ceceran dari Gunung Meru di India.
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Agus Aris Munandar mengatakan, Gunung Meru dipercaya sebagai tiang utama dunia yang menghubungkan surga dan bumi.

Ajaran Brahmana menganggap alam semesta berbentuk lingkaran, di pusatnya terdapat benua Jambhudwipa. Di tengah Jambhudwipa, di pusat semesta, terdapat Meru, gunung kosmis yang diedari Matahari, Bulan, dan bintang. Di puncak Meru itulah terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi dewa-dewa penjaga jagat.
Ajaran Buddha Mahayana, menurut Agus, juga menganggap pusat alam semesta adalah Meru. Gunung ini dikelilingi tujuh pegunungan, masing-masing dipisahkan tujuh samudra berbentuk lingkaran. Benua di selatan Meru adalah Jambhudwipa, sedangkan tiga benua lain dihuni makhluk-makhluk asing.
Di lereng Gunung Meru terdapat surga terendah, tempat keempat raja besar penjaga dunia. Di puncaknya terdapat surga kedua, tempat 33 dewa. Kemudian di atas Meru tersusun lapisan-lapisan lain dari kahyangan.
Agus menegaskan, Gunung Meru adalah gunung mitos dan dipercaya terdapat dalam rangkaian Pegunungan Himalaya. Dalam konsepsi Hindu, konsep Meru dikaitkan dengan pemujaan terhadap Siwa sebagai dewa bumi atau Girisa, penguasa gunung. Gunung suci juga disadari menjadi unsur kuat penyubur tanah atau bumi.
Menurut Agus, Meru sebagai pilar semesta mirip juga dengan kisah asal-usul lingga yang berasal dari tiang api, sebagaimana dipaparkan dalam kisah Linggodbhawa. Tiang api muncul merupakan jelmaan Siwa, mengalahkan kekuatan Brahma dan Wisnu.
Dari kisah itulah mengapa di Asia Tenggara banyak dipuja lingga dengan sebutan Lingga Parwata atau lingga gunung. Lingga itu diletakkan di atas bukit buatan atau kuil bertingkat-tingkat, yang juga dianggap simbol Gunung Meru.
Di Indonesia, bukti tertua konsep Lingga Parwata ditemukan pada prasasti Canggal (732 M). Disebutkan, Raja Sanjaya mendirikan lingga di atas gunung yang bernama Sthirangga (yang abadi dan kuat). Sthirangga inilah simbol Meru.
Sedikit berbeda, menurut Agus, jika pada konsep ajaran Brahmana (1000 SM sampai 750 SM), Meru merupakan pusat semesta, maka pada era Hindu, pemujaan terhadap Meru karena terkait dengan Meru sebagai tempat dewa gunung.
Di Indonesia, adaptasi konsep Meru dikisahkan dalam naskah-naskah kuno, terutama masa Majapahit pertengahan.
Naskah kuno yang dianggap babon yang memberi penjelasan terkait dengan pemujaan gunung-gunung di Jawa adalah kitab Tantu Panggelaran, sebuah prosa berbahasa Jawa Kuna dengan angka tahun 1635 M. Para peneliti masih berdebat apakah angka tahun tersebut merupakan angka tahun pembuatan atau angka tahun penyalinan naskah.
Konsep pada Tantu Panggelaran merupakan sinkretisme antara Buddha, Hindu, dan Jawa. Kisah Tantu Penggelaran dianggap sebagai respons terhadap fenomena gempa bumi yang sering terjadi di tanah Jawa, termasuk menjawab pertanyaan asal-usul manusia Jawa.
Dikisahkan, tanah Jawa semula selalu berguncang, diterpa gelombang samudra. Para dewa sepakat menenangkan Pulau Jawa karena akan dijadikan tempat kehidupan dan berkembang biaknya manusia. Para dewa kemudian bersama-sama memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa (India) ke Pulau Jawa.
”Selama perjalanan pemindahan gunung tersebut, bagian Mahameru tadi jatuh berguguran dan menjelma menjadi beberapa gunung lain di Jawa,” kata Agus. Disebutkan, gunung-gunung di Jawa wilayah timur yang merupakan bagian Mahameru adalah Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi, Arjjuna (Arjuno), dan Kemukus (Welirang).
Tubuh Mahameru diletakkan miring, menyandar pada Gunung Brahma (Bromo), kemudian menjadi Gunung Sumeru (Semeru). ”Puncak Mahameru justru Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan yang tak seberapa tinggi. Dari kisah inilah bisa dipahami mengapa Penanggungan justru paling disucikan,” kata Agus.
Tak hanya dari kisah Tantu Panggelaran, anggapan bahwa Gunung Penanggungan suci juga dilihat dari bentuk fisik gunung tersebut. Penanggungan dikelilingi empat anak gunung yang menjadi mahkotanya. ”Juga dikelilingi daerah aliran Sungai Brantas, simbol samudra, menjadikan gunung ini mirip dalam gambaran sifat fisik Gunung Meru,” kata Agus.

Sumber : Kompas 

SEJARAH RATU PANTAI SELATAN

Ratu Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat penghuni Pulau Jawa dan Bali. Kepercayaan akan adanya penguasa lautan di selatan Jawa (Samudera Hindia) dikenal terutama oleh suku Sunda dan suku Jawa. Orang Bali juga meyakini adanya kekuatan yang menguasai pantai selatan ini.

Legenda
Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan legenda ini dikenal. Namun demikian, legenda mengenai penguasa mistik pantai selatan mencapai tingkat tertinggi pada keyakinan yang dikenal di kalangan penguasa kraton dinasti Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) bahwa penguasa pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul, merupakan "istri spiritual" bagi raja-raja di kedua kraton tersebut. Pada saat tertentu, kraton memberikan persembahan di Pantai Parangkusuma, Bantul, dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri, kepada sang Ratu. Panggung Sanggabuwana di komplek kraton Surakarta dipercaya sebagai tempat bercengkerama sang Sunan dengan Kanjeng Ratu. Konon, Sang Ratu tampil sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda hingga purnama, namun berangsur-angsur menua dan buruk pada saat bulan menuju bulan mati.
Dalam keyakinan orang Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul (kadang-kadang ada yang menyebut Nyi Lara Kidul). Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.
Di kalangan masyarakat Sunda berkembang anggapan bahwa Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan karena diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya malu. Dalam kepercayaan Jawa tokoh ini dianggap bukanlah Ratu Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan Nyi Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan kepercayaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran.

Legenda Sunda
Masyarakat Sunda mengenal legenda mengenai penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat yang berwujud perempuan cantik. Tokoh ini disebut Nyi Rara Kidul. Pada perkembangannya masyarakat cenderung menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul, meskipun dalam kepercayaan Jawa, Nyi Rara Kidul adalah bawahan setia Kanjeng Ratu Kidul. Berikut adalah kisahnya.
Di masa lalu, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Dewi Kadita adalah anak dari Raja Munding Wangi, Raja Kerajaan Pajajaran. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkawinan tersebut. Maka, bahagialah sang Raja.
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja tanpa ada penantang atas takhtanya, dan ia pun berusaha untuk menyingkirkan Dewi Kadita. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap Raja, dan meminta agar sang Raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu Raja menolak. Raja berkata bahwa ia tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putrinya. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara hanya tersenyum dan berkata manis sampai Raja tidak marah lagi kepadanya. Tetapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.
Pada keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun tukang tenung. Dia ingin sang dukun meneluh atau mengutuk Kadita, anak tirinya. Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.
Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya karena dianggap akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi berkelana sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dewi Kadita yang berhati yang mulia, tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Sang Hyang Kersa mendampinginya dalam menanggung penderitaan.
Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa dalam Samudera Selatan dan menjadi seorang dewi yang disebut Nyi Rara Kidul yang hidup selamanya. Kawasan Pantai Palabuhanratu secara khusus dikaitkan dengan legenda ini.

Legenda Jawa
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosok Ratu Kidul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati dalam mitologi Jawa. Karena orang Jawa mengenal sebuah istilah "telu-teluning atunggal" yaitu tiga sosok yang menjadi satu kekuatan. Yaitu, Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panembahan merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam, yang dipertemukan oleh Ratu Kidul ketika bertiwikrama sesuai arahan Sunan Kalijaga guna memenuhi wangsit yang diterimanya membangun sebuah keraton yang sebelumnya sebuah hutan dengan nama "alas mentaok" (kini Kotagede di Daerah Istimewa Yogyakarta). Pada proses bertapa, diceritakan semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus. Ratu Kidul setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram, dan bahkan dipercaya menjadi "istri spiritual" bagi Raja-raja trah Mataram Islam.
Pemahaman terkait penguasa laut selatan harus diluruskan. Karena antara "Rara kidul" dengan "Ratu kidul" sangatlah berbeda. Namun sudah menjadi pemahaman umum bahwa sosok tersebut adalah sama. Dalam kepercayaan Kejawen, yaitu kepercayaan Jawa yang dipengaruhi Hindu dan sudah bercampur beberapa unsur Islam, dalam mitologi Jawa, alam kehidupan itu terbagi menjadi beberapa Tahap. Tahap pertama adalah alam Kadewan, kedua adalah alam Nabi, ketiga adalah alam Wali, keempat alam Menungsa (Manusia) dan yang akan datang adalah alam Adil. Pada mitologi Jawa, Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping telu yang kemudian mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi alam lainnya. Sedangkan Rara Kidul merupakan Putri dari Raja Sunda yang terusir oleh ayahandanya sendiri karena ulah dari ibu tirinya sendiri yang kemudian menjelma menjadi sosok penguasa di laut selatan setelah menceburkan diri di laut selatan. Dan cerita terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan beda fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa.

Ritual dan pemuliaan
Berbagai macam ritual dan penghormatan dilakukan orang untuk menghormati tokoh legendaris ini. Pantai Palabuhanratu dikaitkan sebagai tempat berkuasanya Sang Ratu Pantai Selatan. Di sekitar lokasi pantai Palabuhan Ratu tepatnya di Karang Hawu terdapat tempat petilasan (persinggahan) Ratu Pantai Selatan, yang dapat dikunjungi untuk melakukan ritual tertentu ataupun hanya sekedar melihat-lihat. Di komplek yang dikeramatkan oleh penduduk setempat ini, terdapat sekurangnya dua ruangan cukup besar yang didalamnya terdapat beberapa makam yang dipercaya penduduk sebagai makam Eyang Sanca Manggala, Eyang Jalah Mata Makuta dan Eyang Syeh Husni Ali. Di beberapa ruangan juga terpampang gambar sang penguasa Laut Selatan Nyi Rara Kidul.

Sedekah laut
Masyarakat nelayan pantai selatan Jawa setiap tahun melakukan sedekah laut sebagai persembahan kepada sang Ratu agar menjaga keselamatan para nelayan dan membantu perbaikan penghasilan. Upacara ini dilakukan nelayan di pantai Pelabuhan Ratu, Ujung Genteng, Pangandaran, Cilacap, Sakawayana dan sebagainya. Sebagian besar para wisatawan yang berkunjung baik itu lokal maupun manca negara datang ke Pelabuhan Ratu karena keindahan panoramanya sekaligus tradisi ritual ini. Disaat-saat tertentu banyak acara ritual yang sering digelar penduduk setempat sebagai rasa terima kasih mereka terhadap sang penguasa laut selatan.

Tari Bedaya Ketawang
Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi[1]. Panembahan Senopati adalah orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. Dari kepercayaan ini diciptakan Tari Bedaya Ketawang dari kraton Kasunanan Surakarta (pada masa Sunan Pakubuwana I), yang digelar setiap tahun, yang dipercaya sebagai persembahan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Sunan duduk di samping kursi kosong yang disediakan bagi Sang Ratu Kidul. Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.

Larangan berpakaian hijau
Peringatan selalu diberikan kepada orang yang berkunjung ke pantai selatan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau. Mereka dapat menjadi sasaran Nyai Rara Kidul untuk dijadikan tentara atau pelayannya.

Ruang khusus di hotel
Inna Samudra Beach Hotel, Palabuhanratu
Pemilik hotel yang berada di pantai selatan Jawa dan Bali menyediakan ruang khusus bagi Sang Ratu. Yang terkenal adalah Kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach. Kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar pada peristiwa kebakaran besar Januari 1993. Setelah pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, namun tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul. Hal yang sama juga dilakukan di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu. Kamar 308 disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di dalam ruangan ini terpajang beberapa lukisan Kanjeng Ratu Kidul karya pelukis Basoeki Abdullah. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33 bagi Sang Kanjeng Ratu.


Sejarah Candi Gendong Putri Candipuro


Lumajang adalah  seuatu wilayah yang terbentang di timur gunung semeru  ujung timur jawa. Secara etimologi, kata Lumajang mempunyai 2 arti yaitu pertama, adalah arti spiritual dimana berasal dari kata “Lumah atau Umah”, yang berarti rumah dan”Hyang” artinya Dewa jadi Lamajang berarti “ rumahnya para Dewa”. Kedua adalah arti material yang berasal dari kata “Ajang” yang berate “wadah atau mangko” yang berate tepat subur”. Dari kedua arti tersebut Lamajang dapat di artikan suatu wilayah yang merupakan tempat ritual yang di anggap suci yang juga sangat subur.
Pada jaman pra sejarah, wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Lumajang tersebut berkembang mulai dari yang terdekat dengan gunung Semeru terutama lereng selatannya maupun pantai-pantai selatan sehingga  tidak jarang di temukan peninggalan – peninggalan bersejarah seperti di situs kandangan di Desa Kandangan Kecamatan Candipuro, Situs kamar kajang di Desa Sumberwuluh Kecamatan Candipuro, Situs Karangmenjangan di Desa Tempurejo  Tempur Sari. Tersebarnya situs-situs pra sejarah di wilayah ini menandakan bahawa kepercayaan terhadap kesucian gunung Mahameru atau Semeru sudah berkembang sejak jaman pra-hindu dan di lanjutkan kepercayaan yang bersifat Hiduistik
Pada jaman rang raja kameswara dari Kediri, perjalanan ritul dan ziarah ke gunung Semeru ini berkembang sehingga pada tahun 1182 Masehi sang raja  dengan  di sertai para pengawal melakukan ziarah suci seperti yang tertera dalam “Prasasti Ranu Kumbolo”. Karena ramainya ziarah ke gunung Semeru tersebut, maka berkembanglah desa-desa yang ramai. Perkembangan kemudian oleh kerajaan Singosari  semakin di perdayakan  dengan membentuk sebuah pemerintahan vassal di bawah Adipati Putri bernama “Nararya Kirana” yang merupakan putri raja Sminingrat. Hal ini sesuai dengan isi Prasasti Mula Malurung yang berangka tahun 1255 Masehi.
Dimana pusat kerajaan Adipati Naraya Kirana? Menurut penelitian MPPM Timur, pusat kerajaan  awal di Lumajang berkembang dari wilayah selatan. Hal ini di karenakan hubungan erat Lumajang dengan daerah Malang selatan yang mengarah pada komplek Cadi Gendong Putri. Dari Survei yang di lakukan Tim MPPM Timur, struktur bangunan dengan engsel dari batu andesit dan batu bata yang cukup kuno di perkirakan di bangun pada ke 12 dan ke 13 an. Demikian dari informasi masyarakat di ketahui bahwa situs ini terdiri dari dari komplek bangunan yang cukup luas dengan batu bata berserakan dalam jangkauan 1 km2. Hal ini di perkuat dengan donegeng tentang seorang putri cantik yang kemudian diperistri seorang ksatria dengan jalan menculiknya dengan membuat terowongan bawah tanah.


BUMI LAMAJANG, Sebuah Perjalanan Panjang Sejarah Yang Menorehkan Bekas Kejayaan

Sejarah Lumajang


Menapak untaian lintasan perjalanan masa lampau tentang keberadaan serta masa kejayaannya sebagai bagian dari perjalanan sejarah, dimana KERAJAAN LAMAJANG telah mengukir bagian dari masa lalu itu sendiri dengan melintasi masa Kejayaan Kerajaan Singasari, Majapahit serta Mataram Islam, hal ini dibuktikan melalui beberapa fakta sejarah yang pernah menyebut tentang Kerajaan Lamajang yaitu diantaranya Prasasti Mula Malurung, Naskah Negara Kertagama, Kitab Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kitab Pujangga Manik, Serat Babat Tanah Jawi,”Serat Kanda, Kidung Sorandaka, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Ranggalawe, Prasasti Kudadu dan Prasasti Sukamerta.
Keberadaan Kerajaan Lamajang ditengarai pada masa Kerajaan Singasari dengan rajanya Wisnuwardhana (Raja-Singasari keempat), dimana pada waktu itu beliau bermaksud untuk mengembangkan sayap kekuasaannya dengan setrategi membagi-bagikan beberapa, wilayah kerajaannya yang masih belum berkembang kepada para putranya untuk dijadikan suatu daerah bawahan yang maju dan berkembang guna mendukung serta memperkuat pengaruh kekuasaannya yang hal ini tertuang di dalam bukti sejarah berupa Prasasti, “Mula Malurung. Prasasti Mula Manurung ini sendiri diketemukan pada tahun 1975 di Kediri dengan berangka tahun 1977 Saka yang berupa 12 lempengan tembaga dan pada lempengan VII halaman a baris 1 – 3 prasasti Mula Manurung tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 1177 Saka Paduka Sri Maharaja Sminingrat (Wisnuwardhana) menobatkan putranya Nararya Kirana menjadi raja di Kerajaan Lamajang. Kemudian dari Prasasti Mula Malurung tersebut dilakukan suatu penelitian / penghitungan dengan menggunakan kalender kuno yang akhirnya ditemukan dalam perhitungan tahun Jawa bahwa penobatan Nararya Kirana menjadi Raja di Kerajaan Lamajang terjadi pada tanggal 14 Dulkaidah 1165 atau tanggal 15 Desember 1255 M.
Berawal dari sebuah kerajaan kecil yang kemudian Kerajaan Lamajang berkembang dengan pesatnya mengingat daerahnya didukung oleh potensi kesuburan tanahnya yang ditopang oleh 3 buah gunung berapi, yaitu Semeru, Bromo dan Lamongan. Kemudian wilayah Kerajaan Lamajang ini meluas pada masa awal berdirinya Kerajaan Majapahit (1293 M) hingga meliputi sebagian Bali, Blambangan (Banyuwangi), Situbondo, Bondowoso, Jember, Probolinggo, Pasuruan hingga sebagian Madura yang didalam sejarah wilayah tersebut dikenal dengan sebutan Lamajang Tigang Juru dengan pusat Ibukotanya di Lumajang pada saat ini. Hal ini terjadi karena wilayah Kerajaan Majapahit yang pada waktu itu dibagi dua yaitu wilayah .Majapahit Barat dan wilayah Majapahit Tumur (Lamajang Tigang Juru), mengingat Raden Wijaya (Raja Majapahit pertama) menepati janjinya kepada Arya Wiraraja yang telah membantunya hingga menjadi Raja Majapahit yang pertama dan menyerahkan wilayah Majapahit Timur kepada Arya Wiraraja.
Pada masa Panembahan Senopati (1588 – 1601) dari Kerajaan Mataram Islam, daerah Lumajang dan sekitarnya berhasil direbut dan dikuasai dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam pada saat penaklukan daerah sebelah timur Lamajang dan Renong (Kutorenon) oleh pasukan Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Alap-Alap yang berada m di daerah Winongan atas perintah Raden Suro Tani.
Dari lintasan perjalanan sejarah yang panjang mulai dari masa Kerjaan Singasari, Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram Islam, tentunya Bumi Lamajang telah mengukir sejarahnya sendiri pada masa lalunya dan sebagai saksi bisu akan kejayaan Kerajaan Lamajang pada masa lalu. Didalam perjalanan sejarah Bumi Lamajang tersebut, kemudian munculah tokoh-tokoh dari Bumi Lamajang yang berperan pada masa itu seperti Nararya Kirana (Adipati Lamajang pertama) Nambi putra Pranaraja Mpu Shina (Rakryan Patih pertama Kerajaan Majapahit), Arya Wiraraja (Penguasa Kerajaan Lamajang di era Kerajaan Majapahit) dan masih banyak lagi. Hingga sampai saat ini di Kabupaten Lumajang banyak bertebaran peninggalan-peninggalan sejarah di hampir setiap Kecamatan sebagai bukti akan kejayaan Kerajaan Lamajang pada masa lalu yang liputi Candi Agung, Candi Gedung Putri, Situs Biting dan masih banyak lagi yang lainnya.
Perjalanan sejarah Bumi Lamajang pada masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dibiarkan apalagi dilupakan begitu saja, tetapi hendaknya bisa menjadi suatu motifasi di dalam membangun Kabupaten Lumajang kedepan mengingat daerah ini mempunyai peranan sangat penting pada masa lalunya.

 Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Kirana, Edisi 2011, Lumajang, 2011, hal 1

Napak Tilas Jejak Kerajaan Lamajang Tigang Juru


 Nurul Arifin - Okezone

Makam Minak Koncar
SIAPA yang tak kenal dengan kerajaan Majapahit. Kerajaan yang konon memiliki jalur perdagangan se-Nusantara ini didirikan oleh Raden wijaya atau bergelar Kertarajasa Jaya Wardhana.

Rupaya sebelum pendirian kerajaan Majapahit, Raden Wijaya terikat perjanjian dengan Aria Wiraraja karena turut membantu menjatuhkan kerajaan Singahasari atau Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara hingga berdirinya kerajaan Majapahit.

Dalam Kitab Pararaton, bekas kerajaan Singosari dibagi menjadi dua berdasarkan kesepakatan anatar Raden Wijaya dan Aria Wiraraja.  Bekas wilayah Kerjaan Singosari bagian barat yang kemudian bernama Majapahit dengan Raja Raden Wijaya kekuasaanya meliputi Daerah Singosari, Kediri, Gelang-Gelang (Ponorogo) dan Wangker dengan ibu kota Majapahit di Mojokerto.

Bekas Kerajaan Singosari bagian timur kemudian menjadi Kerjaan Lamajang Tigang Juru dengan kekuasaan meliputi Daerah Lumajang, Panarukan, Blambangan, Madura dengan ibu kota di Katurenon (Kawasan Situs Biting) dengan raja Aria Wiraraja. Berdasarkan data sejarah dua kerajaan itu berdiri pada 10 November 1293. Perjanjian itu termaktub dalam Parasasti Pudadu.

Arkeologi Udhayana Aries Purwantini mengatakan, Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini memiliki peradaban yang hampir sama dengan kerajaan Majapahit. "Saat ini sedang dilakukan penggalian situs Biting. Dimana situs ini adalah benteng kerajaan Lamajang Tigang Juru yang memiliki luas sekitar 135 Hektar," kata Aris di sela-sela penggalian situs.

Di dalam situs tersebut, terdapat beberapa petilasan-petilasan Aria Wiraraja atau masyarakt sekitar menyebut Banyak Wide atau Minak Koncar. Setidaknya, ada bangunan cungkup yang berisi makam Aria Wiraraja. Namun, kata Aris, secara sejarah belum dibuktikan apakah makam tersebut benar-benar persemayaman Raja Minak Koncar atau bukan.

"Masyarakat sekitar mempercayai bahwa ini adalah makam Aria Wiraraja. Selain itu, Aria Wiraraja yang pernah menjabat sebagai Adipati Sumenep itu di sana juga tidak ada makam Aria Wiraraja," jelasnya. Di sekitar situs tersebut juga terdapat sejumlah petilasan-petilasan lainnya. Seperti makam Minak Koncar dan Sumur Windhu.

Aria Wiraja meninggalkan banyak keturunan. Setidaknya ada tiga yang utama. Yakni, Mahapatih Nambi yang kemudian menggatikan menjadi raja Lamajang dan gugur mempertahankan kebesaran Lamajang Tigang Juru pada 1316 Masehi.

Kedua, Ronggolawe yang menjadi Adipati Tuban I dan gugur pada 1295 masehi karena melakukan perlawanan kepada Kerajaaan majapait. Dari Ronggolawe inilah kemudian tersambung keturunan generasi keempat, yakni Raden Sahid atau Sunan Kalijaga.

Ketiga, Adipati Suradhikara yang kemudian meneruskan pemerintahan di bekas kerajaan Lamajang Tigang Juru yang kemudian menurunkan raja-raja di kerajaan Patukangan atau Panarukan dan Blambangan seperti Prabu Tawang Alun. Selanjutnya, kerajaan Lamajang Tigang Juru Runtuh Karena 'Salah Paham' dengan Majapahit.

Hingga saat ini, Pemerintah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, masih melakukan penggalian terhadap bekas kerajaan Lamajang Tigang Juru itu.
 
 
Sumber Okezone.
 

Trending Template

Label 1

Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Sejarah Lamajang Tigang Juru - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger